Mari Kita Pindah, Jangan di Titik itu Lagi!
Fr. Yosep Pranadi, O.S.C.
Fratres Carissimi, Saudara-saudara yang terkasih ... Pada
saat pelantikan presiden dan wakil Presiden RI periode 2019-2024 di Gedung
Parlemen, Senayan, Jakarta, hal yang paling saya tunggu-tunggu adalah
mendengarkan pidato presiden terpilih. Apabila saya simak durasinya ± 17 menit.
Dalam keseluruhan pidato itu ada satu bagian yang sungguh menarik buat saya.
Tepatnya di menit 4.20 s/d 06.18. Jokowi berkata,
“Dalam dunia yang penuh risiko, yang sangat dinamis, dan yang
kompetitif, kita harus terus mengembangkan cara-cara baru, nilai-nilai baru.
Jangan sampai kita terjebak dalam rutinitas
yang monoton.
Harusnya
inovasi bukan hanya pengetahuan. Inovasi adalah budaya. Cerita sedikit, tahun
pertama saya di istana, saat mengundang masyarakat untuk halal bihalal, protokol meminta saya untuk berdiri di titik itu,
saya ikut. Tahun kedua, halal bihalal
lagi, protokol meminta saya berdiri di titik yang sama, di titik itu lagi.
Langsung saya bilang ke Mensesneg <Mentri Sekretaris Negara>, ‘Pak, ayo
kita pindah lokasi. Kalau kita tidak pindah, akan jadi kebiasaan. Itu akan
dianggap sebagai aturan dan bahkan nantinya akan dijadikan seperti undang-undang.’
Ini yang namanya monoton dan rutinitas.”
Kacamata presiden adalah ingin melihat Indonesia yang lebih
berkembang di bidang birokrasi, mental masyarakat, sosial, dan pertumbuahan
ekonomi ke depan. Sedangkan saya akan melihatnya dari kacamata spiritualitas.
Begini saudara. Kadang-kadang secara tidak sadar kita berkata, “Mengapa hidup
saya seperti ini terus sih?” Dari dulu sampai sekarang gini-gini aja. Kok buka bisnis
gagal lagi-gagal lagi? Hidup saya kemarin dengan hari ini kok sama saja yah? Makan,
minum, kerja, ngurus anak, istirahat. Kupu-Kupu: kuliah-pulang, kuliah-pulang.
Itu-itu saja. Tidak ada perkembangan. Nggak ada inspirasi, nggak ada ide. Tidak
membuat sesuatu atau “something different”
gitu lho! Kadang ... Tidak mau atau
susah berbagi apa yang kita miliki kepada orang lain. Hidup selalu menunggu
akhir bulan, gaji datang – belanja – makan-makan, selesai. Setiap kali datang
ke ruang pengakuan, entah kemarin, hari ini, dan besok hal yang diungkapkan
sama saja: Pastor saya nyontek, bertengkar, gosip, nyakiti orang, fitnah, bohong,
malas berdoa, susah maafin orang, dll. Ini mah Tomat: tobat-kumat, tobat kumat.
Ini menjadi kebiasaan yang monoton. Tidak baik dibiarkan terus.
Suatu ketika saya
bercerita pada anak-anak sekolah Minggu (Luk 19:1-10). “Anak-anak. Pada suatu
hari Yesus berjalan-jalan di kota Yerikho. Banyak orang kagum dan datang
berbondong-bondong padanya. Ketika melewati sebuah pohon tiba-tiba Yesus
melihat Lazarus sedang berada di atas pohon. Yesus pun kaget dan heran ... melihatnya”
Lalu anak-anak protes keras kepada saya. “Frateeerrr itu bukan Lazarus tau!”.
Lalu saya melanjutkan, “Ketika Yesus melihat Lazarus di atas pohon, Ia berkata,
Lazarus turunlah! .. itu bukan tempatmu! Itu tempat Zakheus!. “Oh Maaf Yesus”,
Lazarus turun, Zakheus naik pohon (karena badannya pendek) lalu ngobrol-ngobrol
dengan Yesus. Akhirnya Yesus diundang makan-makan di rumah Zakheus. Ketika
Yesus hadir di rumahnya, Zakheus pun tersentuh dan merasa diberkati. Ia sadar
bahwa dirinya selama ini berdosa. Pada hari itu juga terjadilah perubahan dan
pertobatan dalam diri Zakheus. Perubahan terjadi ketika ia berkata, “Tuhan,
setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada
sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Luk
19:8). Kemudian Yesus berkata, “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah
ini, karena orang ini pun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari
dan menyelamatkan yang hilang.” (Luk 19:9-10). Ini adalah kisah pertobatan Zakheus.
Ia menyesali masa lalunya, memperbaiki hidupnya, dan mau berbagi apa yang ia
miliki kepada orang-orang pada masa itu. Hatinya diubah, hidupnya berbuah
sehingga mengalirlah kebaikan dari padanya. Cerita Zakheus selesai dan Yesus
kembali berkeliling mencari yang sakit dan tersesat. Setelah mendengar kisah
ini, apa maknanya? apa yang akan kita lakukan? Diem-diem bae?
“Ayo pindah!, jangan
di titik itu lagi-di titik itu lagi. Kalau tidak pindah akan jadi kebiasaan dan
rutinitas yang monoton.” Kata presiden
dalam pidatonya. Paulus dalam suratnya kepada umat Filipi berkata, “Aku
melupakan apa yang dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di
hadapanku.” Mari bergerak maju. Beranilah berubah dan berbuah seperti Zakheus. Dalam
Kitab Kebijaksanaan (Bac.I) dikatakan, “Tetapi justru karena Engkau berkuasa
akan segala sesuatu, maka semua orang Kaukasihi, dan dosa manusia tidak
Kauperhatikan, supaya mereka bertobat” (Keb 11:23). Mengutip kembali apa yang pernah
disampaikan Bapak Fransiskus dalam tahun kerahiman ilahi. Ia berkata, “Saya
dapat dan mesti menyatakan bahwa tidak ada dosa yang tidak dapat dicapai dan
dihapuskan oleh belas kasih Allah ketika belas kasih itu menemukan hati yang
bertobat untuk di diperdamaikan dengan Bapa.” Misericordia et Misera, art. 12 (2016). Artinya apa? Tidak ada dosa
yang tidak dapat diampuni. Belas kasih Allah senantiasa terbuka bagi orang yang
memohonkannya dari hati yang mau berubah dan bertobat. Kesempatan selalu ada
dan jangan menyia-nyiakannya. Berusahalah untuk terus berbenah dan berubah agar
berbuah. Terus memperbaiki, mengevaluasi, dan merevisi diri, supaya nanti tidak
menyesal. Mari pindah! Jangan di titik itu lagi- titik itu lagi! Hiduplah
seperti air, ia terus bergerak di dalam tubuh, di dalam tanah, di sungai, di
lautan, dan di alam semesta untuk memberi kehidupan kepada setiap makhluk.
Minggu, 3 November 2019 C/I
Hari Minggu Biasa XXXI (H).
E KemSyah. BcE Keb.
11:22-12:2; Mzm. 145:1-2,8-9,10-11,13cd-14; 2Tes. 1:11-2:2; Luk. 19:1-10
Salam,
Fr.
Yosep Pranadi, O.S.C.
Salus Animarum Suprema Lex
Komentar
Posting Komentar