“AKU DALAM DIRIMU-
BERJALAN BERSAMA-
MENCARI MUTIARA BERHARGA”
![]() |
Fr. Pranadi dengan sekumpulan anak-anak Desa Dagan, foto tahun 2013. |
Anggota : Novisiat OSC tahun ke-2 angkatan 2011
Lokasi : Stasi Dagan dan Totoran Indramayu
Waktu : Sabtu, 22 Desember 2012 – Rabu, 9 Januari 2013
Pengantar
Tinggal dalam situasi berbeda merupakan sebuah pengalaman menarik. Pengalaman saya kali ini berkisah tentang Live-in (tinggal di dalam), lebih tepatnya tinggal di dalam sebuah keluarga. Saya tinggal di desa Dagan (kampung Tegur), di keluarga Bpk. Nardi dan Ibu Saidah. Dalam satu rumah terdapat 9 orang yang tinggal bersama. Ada Ibu dan bapak, anak bapak yang ke-3 beserta suaminya, dan ke-5 orang cucunya yang masih kecil. Pekerjaan bapak dulu adalah melaut, namun karena faktor usia yang semakin sepuh, kini bapak lebih memilih bekerja menjadi seorang buruh borongan (menanam bakau, kelapa, dll.) atau tukang bangunan. Sekilas perkenalan singkat keluarga baru yang saya tinggali.Sungguh berkesan pengalaman live-in selama ± 19 hari di desa Dagan. Sepercik pengalaman yang memberikan makna bagi perjalanan panggilan dalam pencarian diri menemukan arti.
![]() |
Agus, Fr. Pranadi, Fr. Marsono, Fr. Tjatur, Foto tahun 2013. |
“Aku Bersedia Belajar dan Belajar”
Sebuah ungkapan mengatakan “ Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. Ungkapan ini mau menjelaskan bahwa, ketika seseorang berada di suatu tempat baru, maka hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah adaptasi atau penyesuaian diri dengan lingkungan baru tersebut. Ketika saya berada di tempat baru, maka mau-tidak mau saya harus menyesuaikan diri. Penyesuaian ini terjadi ketika saya tinggal di daerah orang dimana daerah tersebut sangat asing bagi saya entah dari wilayah geografis, mata pencaharian penduduk, bahasa, budaya, sifat dan karakter, maupun kebiasaan orang-orang di sana. Karena saya tidak terbiasa, maka saya dituntut untuk menyesuaikan diri dengan daerah baru yang saya tinggali tersebut, entah belajar bahasa setempat, menerima apa adanya kehidupan penduduk di sana, dan banyak mengobrol dengan penduduk sekitar. Untuk mengenal lebih akrab dengan penduduk maka pengetahuan tentang bahasa dan budaya setempat adalah hal yang sangat penting yang harus dipelajari oleh saya sehingga akhirnya saya dapat mengerti dan memahami orang-orang di daerah yang saya tinggali. Bukan hanya di Dagan saja, tetapi dimanapun. Inilah pelajaran pertama yang saya dapatkan.
“Undak-Usuk”
Sebagai orang baru, kami mendapat sambutan hangat dari penduduk Dagan. Mereka menerima kami dengan senyuman yang ramah. Tidak lupa kami pun memperkenalkan diri bahwa kami akan tinggal bersama penduduk Dagan selama beberapa hari ke depan. Penyambutan ini dilangsungkan di Gereja stasi Dagan sebelum berkat penutup bersama Pst. Abi, Pak Teja selaku ketua stasi, dan umat sekalian yang hadir. Sambutan dan perkenalan ini merupakan hal kecil namun sangat bermakna bagi saya. Ada sebuah ungkapan di Sunda “Datang kudu katingali tarang, undur kudu katingali punduk”.(Datang harus kelihatan dahinya, pulang harus kelihatan pundaknya). Ungkapan ini bermakna bahwa ketika akan bertamu hendaklah setiap orang membawa budi basa, tata kelakuan yang baik. Ketika berkunjung akan lebih berbudi jika memberi tahu tuan rumah atau sekedar mengucapkan permisi. Perkenalan ini sebenarnya bertujuan untuk memberi tahu penduduk Dagan, memberi salam hormat, bahwa saya dan teman-teman akan tinggal bersama di tengah-tengah kehidupan penduduk Dagan. Ketika bertemu dengan orang di jalan pada akhirnya kami sudah diketahui bahwa kami adalah orang baru sehingga kami bisa melakukan tegur sapa atau sekedar memberi senyuman yang ramah. Siapapun yang akan berkunjung ke daerah orang akan lebih baik jika memperkenalkan diri, memberitahukan kehadiran kita sehingga terciptalah budi yang baik, sifat sopan dan santun dalam bergaul. Ketika ingin meninggalkan Dagan pun tak lupa kami mohon pamit dan meminta maaf atas segala kekurangannya selama tinggal bersama disana. Itulah pelajaran berharga yang saya dapat selanjutnya.
“Usaha Kecil-Kecilan”
![]() |
Dalam keterbatasan, anak-anak dagan tetap ceria. Foto tahun 2013. |
Kini saatnya bergaul dan terlibat di dalam kehidupan bermasyarakat. Cukup mengherankan setelah saya tahu bahwa motivasi belajar anak-anak di sana rata-rata rendah. Mereka kebanyakan malas belajar dan sekolah. Karena kemalasan, beberapa anak akhirnya memutuskan berhenti sekolah. Apa penyebabnya? Apakah dari pihak anak atau orang tua? Memang keduanya seharusnya harus saling mendukung. Anak seharusnya memiliki semangat untuk belajar, dan orang tua harusnya mendukung dan medorong anaknya untuk tetap belajar dan sekolah. Namun orang tua kebanyakan cuek terhadap anaknya. Mereka acuh tak acuh. Apabila anak ingin sekolah ya silakan, apabila anak tidak mau dan malas belajar ya wes ora opo-opo -terserah si anak-. Ini yang menjadi keprihatinan saya dan saya tergerak untuk memberi sedikit motivasi bagi anak-anak untuk terus belajar dan sekolah. Maka hal yang bisa saya perbuat bagi anak-anak adalah mengajari mereka menulis, membaca, berhitung, dan bernyanyi. Saya sangat senang karena anak-anak kecil sangat antusias dan bersemangat mengikuti pelajaran. Mudah-mudahan pengajaran ini akan memberi sedikit motivasi untuk memicu semangat mereka dalam belajar. Namun tetap saja semangat itu akan memudar jika orang tua tidak mendukung anaknya dari belakang. Tapi itulah sedikit usaha yang saya lakukuan bersama dengan taman-teman yang lain. Saya ikut senang jika mereka tetap bersemangat untuk belajar. Perjuangan apapun jika dilakukan dengan penuh semangat yang tulus pasti akan membuahkan hasil yang baik. Pelajaran yang sungguh berarti bagi saya. Semangat mengajar anak-anak yang kehilangan semangat, demi kemajuan pendidikan yang masih terpendam. Sebuah kenangan yang mengharukan. Semoga saja suatu saat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang bersemangat menghadapi kerasnya persaingan
hidup.
“Bagimu Kuabdikan Diriku dengan Segala Cinta yang Kumiliki”
![]() |
Fr. Pranadi, Fr. Marsono (ex), Fr. Tjatur berpose di tengah sawah di Dagan, foto tahun 2013. |
Di tengah liku-liku permasalahan, muncul seorang tokoh yang sangat dikenal oleh orang-orang sekitar. Dia adalah Pak Rusman, sang relawan tanpa pamrih yang mengabdikan cintanya demi perkembangan pendidikan dan kehidupan gereja. Hatinya tergerak oleh situasi kehidupan masyarakat Dagan yang masih belum berkembang khususnya dalam bidang pendidikan. Berkat keprihatinannya, akhirnya hidupnya diabdikan untuk mengajar dan terlibat dalam semua pelayanan gereja. Ia akhirnya pindah dari kota Indramayu ke sebuah kampung Dagan yang belum berkembang. Saya sempat berdecak kagum melihat hidupnya yang dengan tulus ikhlas mengabdikan diri tanpa mendapat upah dan peghargaan atas segala pengorbanan dan pengabdiannya. Dia mengajar anak-anak kecil belajar menulis, membaca, penggunaan bahasa asing, menyanyi, dsb. Semua itu demi satu tujuan yakni kemajuan dalam pendidikan sehingga anak-anak menyadari bahwa sekolah, belajar, membaca, menulis itu sangat penting. Pengabdiannya berawal dari keprihatinnannya melihat banyak orang yang tidak bisa membaca, menulis, banyak yang tidak sekolah, dsb. Berkat perjuangannya kini perlahan mulai tampak kemajuan. Banyak anak bisa membaca, menulis, mau belajar, mau sekolah, bahkan hal yang tidak disadari bahwa ketulusannya dalam mengajar dan pelajaran hidup yang disampaikannya telah tertanam dalam diri setiap anak. Tapi terkadanng ia merasa sedih karena anak-anak yang pernah belajar bersamanya melupakan jasanya begitu saja tanpa adanya penghormatan atas jasanya. Bukannya ingin dihargai, tapi terkadang mereka lupa bahwa seorang Rusman Tua telah berjasa mengajari mereka. Kini pengalaman itu menggerakan hati saya. Pengalaman seorang Rusman Tua memberikan pelajaran berharga tentang pengabdian diri tanpa pamrih tanpa mengharap balas jasa. Pengabdian yang tidak memikirkan diri sendiri, namun demi kehidupan banyak orang. Saya belajar untuk hidup bagi orang lain membantu orang tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan dan balas jasa. Saya berharap bisa belajar banyak dari kehidupan Rusman tua yang memiliki cinta yang sangat dalam. Semoga suatu saat cinta itu tertanam dan melebur dalam diri saya menjadi kebajikan yang membawa berkat.
“Pergaulan dengan Orang Dagan”
![]() |
Persatuan Anak-Anak Dagan dan Totoran dalam Perayaan Natal tahun 2013. |
Membawa diri di daerah orang bukanlah hal mudah. Saya membawa identitas diri sebagai seorang frater. Karena identitas yang saya miliki, saya dituntut untuk berperilaku sebagaimana mestinya sebagai seorang frater. Banyak orang yang saya jumpai di Dagan. Ada anak-anak, remaja, muda-mudi, bapak-bapak/ ibu-ibu, dan orang sepuh. Menjadi tantangan tersendiri bagi saya ketika bergaul dan berkomunikasi dengan mereka karena tingkat umur yang berbeda-beda. Tentu akan berbeda ketika saya berkomunikasi dengan orang sepuh, bapak/ibu, remaja, muda- mudi, dan anak-anak. Karena identitas yang saya miliki mau-tidak mau saya dituntut harus bisa berkomunikasi dengan semua orang dari segala usia maupun golongan. Pergaulan yang paling mudah saya rasakan terutama dengan remaja dan anak-anak. Hal ini mungkin dipengaruhi juga oleh faktor usia saya yang masih dalam tahap perkembangan. Maka ketika saya berkomunikasi dengan seorang Bapak/Ibu/Sepuh, saya harus bersusah payah bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Saya sampai bingung mau mengobrol apa yang cocok dan memikirkan hal-hal yang sebaiknya diperbincangkan. Karena belum banyak berpengalaman terkadang saya diam karena bingung ingin membicarakan apa. Kebanyakan yang saya lakukan adalah bertanya, sekedar menanyakan pertanyaan yang biasa dan mudah (pekerjaan, keluarga,dsb.). Pengalaman ini memberi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Saya harus bisa bergaul dengan siapa saja baik dalam rentang usia yang berbeda-beda maupun dari segala golongan. Meskipun saya memiliki kelemahan dalam bergaul namun saya tidak akan menyerah begitu saja pada keadaan. Saya akan terus belajar dan belajar bergaul dan bersosialisasi dengan setiap orang dari usia dan golongan yang berbeda. Tidak mudah memang. Dengan usaha keras mudah- mudahan mampu membuat saya dapat bergaul dan berkomunikai dengan siapapun sehingga tidak bingung mau ngomong apa jika berbicara dengan orang lain.
“Aku dan Identitasku”
![]() |
Bemain Qyu-Qyuan di sela-sela nganggur. |
Sebagai manusia lemah, seorang frater pun pasti mengalami banyak tantangan yang terkadang melemahkan panggilannya. Sekilas tantangan pergaulan kali ini berkisah mengenai perjuangan mempertahankan identitas diri dalam bergaul dengan lawan jenis. Saya merasa senang ketika tinggal dan bergaul dengan orang-orang di sana. Saya merasa dapat melakukan apapun dengan sesuka hati dan sebebasnya tanpa ada yang mengatur. Tetapi karena saya adalah seorang frater, saya tetap membatasi diri dalam bergaul khususnya dengan lawan jenis. Identitas yang saya miliki senantiasa mengingatkan saya dalam segala tindakan dan pergaulan yang harus saya lakukan. Siapa sih yang tidak tertarik ketika seseorang melihat beberapa remaja putri yang ayu. Pasti mereka akan tergoda olehnya. Ketika saya melihat wong ayu tentu saya tertarik dengannya. Namun karena saya adalah frater saya tetap menjaga diri. Saya berusaha mengendalikan diri saya. Dalam pergaulan dengan remaja putri saya cukup hati-hati karena pada umumnya mereka banyak yang nge-fans dengan para frater. Mereka biasanya memilih salah seorang frater yang mereka anggap suka. Sebenarnya saya pun memiliki ketertarikan kepada salah seorang yang saya anggap baik, namun pada akhirnya saya dapat menjaga diri saya sebagai sorang frater dan bergaul dengan setiap orang tanpa menganggap seseorang istimewa. Di samping itu ada dua orang remaja putri yang saya ketahui yang nge-fans dengan saya. Setelah mengetahui hal ini, saya tidak serta merta menjadi salah tingkah dan memanfaatkan keadaan. Saya tetap menjaga sikap netral, terbuka, tidak memilih-milih dalam bergaul. Lagi-lagi identitas diri senantiasa mengingatkan diri saya agar dapat mengendalikan diri dan menyadari siapa saya sebenarnya. Saya harus berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis, apalagi saya sebagai seorang frater yang menjadi sorotan banyak orang. Pelajaran yang saya peroleh kali ini mengenai pengendalian diri. Saya dituntut untuk tetap memperlihatkan diri sebagai seorang frater. Saya harus bisa menjadi orang yang bijak dalam bergaul sehingga saya dapat bersikap netral, terbuka, dan tidak memilih-milih orang. Dengan adanya pengendalian diri saya dapat mengendalikan diri dalam bergaul dengan lawan jenis sehingga hubungan di luar batas pergaulan sebagai seorang frater dapat dihindari. Kehati-hatian memang selalu diperlukan hingga akhirnya saya dapat mempertahankan panggilan saya, mempertahankan identitas diri. Godaan memang selalu ada, tetapi dengan pengendalian diri saya senantiasa disadarkan akan siapa
diri saya sebenarnya.
“Keluarga Baruku”
![]() |
Keluarga Baruku di Dagan. (Ki-Ka : Agus, Fr. Pranadi, Bpk Nardi, Tarsitem, Ibu Saidah, Titiyanti). Foto tahun 2013. |
Tinggal bersama orang baru bukanlah hal yang mudah. Perlu adaptasi diri. Namun apa jadinya ketika saya tingggal di suatu keluarga yang baru saya kenal namun keluarga tersebut telah menggenal identitas diri saya? Identitas diri sebagai seorang frater.Bagaimana kira-kira perlakuan mereka terhadap saya, dan sebaliknya, bagaimana sikap saya terhadap mereka? Sudah mejadi kebiasaan bagi mereka ketika ada tamu, maka tamu tersebut dijamu, mereka menganggap tamu sebagai raja. Ketika saya hadir sebagai seorang frater, mereka lebih-lebih sangat menghormati, menghargai, dan menjamu saya dengan ramah dan baik. Saya senang tinggal bersama keluarga Bpk. Nardi. Dalam kehidupan keluarga mereka sangat akrab satu-sama lain. Mereka saling berbagi ketika makan, saling membantu jika kekurangan belanja. Meskipun ada yang berbeda keyakinan dalam satu keluarga, mereka tetap menghormati dan menghargai satu sama lain. Meski Bpk. Seorang Katolik, namun ia memberi kebebasan kepada anak cucunya untuk memilih sendiri agama yang mereka anggap cocok. Ada yang memilih masuk Katolik, ada juga yang memilih masuk Islam. Pengalaman ini memberi pelajaran berharga bahwa kita semua adalah satu saudara. Maka, meskipun berbeda-beda keyakinan tetaplah kita saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kita adalah sama-sama manusia, sama-sama butuh bantuan, sama-sama mengharapkan kedamaian, dan sama-sama hidup. Keluarga Bpk. Nardi memberi pelajaran berharga dalam hal saling menghargai dan menghormati setiap orang meskipun memiliki perbedaan.
Pada hari-hari pertama, saya sering pergi melaut bersama Pak Uji (menentu bapak). Setiap hari kami mengambil ikan di serok (semacam jaring/ perangkap ikan). Penghasilan yang didapat kiranya cukup untuk makan dan memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan terkadang lebih dari cukup. Karena penghasilan yang mencukupi, mereka seringkali tidak dapat mengatur keuangan dengan baik. Mereka boros dalam hal penggunaan uang. Uang yang didapat hari ini digunakan sepuasnya untuk apa saja. Habis tidak apa-apa, toh besok dapat rejeki kembali dari hasil melaut. Mereka dimanjakan dengan kekayaan alam yang berlimpah. Sebenarnya rejeki yang didapat dari melaut cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup bahkan bisa ditabung, hampir tidak ada orang yang miskin yang sangat kekurangan. Lewat kenyataan ini saya belajar untuk hidup hemat dan tidak memboroskan uang seenaknya. Belajar mengatur uang sesuai dengan kebutuhan. Membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Suatu ketika perangkap ikan itu diambil oleh pak Uji, perangkap yang memberikan rejeki setiap hari bagi keluarga. Karena perangkap diambil, saya sempat menganggur dan tidak pergi ke laut. Menjadi pengangguran adalah hal yang sangat tidak enak bagi saya karena tidak ada kegiatan yang dikerjakan. Maka saya mencari pekerjaan lain. Suatu hari saya ingin ikut menanam bibit bakau di pesisir pantai, tapi apa boleh buat, bapak melarang saya. “Jangan Ter panas di pantainya” kata bapak. Saya ingin ikut kerja memasang keramik tidak diperbolehkan, “Jangan ter di rumah aja”. Ketika saya ingin ikut bersama pak Uji masang serok kembali, “Jangan Ter nanti kecapaian, soalnya sampai sore”. Berkali-kali saya meminta ikut kerja tetapi tetap tidak diperbolehkan. Ya sudah apa boleh buat, saya harus nurut. Memang kebiasaan mereka jika ada tamu/orang baru, pasti dia akan dijamu, dilayani, dan dimanja layaknya seorang raja. Ketika saya beres-beres rumah, menyapu, membersihkan kamar mandi, atau sekedar mencuci piring saya pun diomeli ibu “tidak usah ter biar ibu saja”. Kerjaan yang saya ikuti paling diajak melaut mengambil ikan di serok dan selebihnya saya harus kreatif melakukan kegiatan. Kini saya tahu perlakuan orang-orang di sana ketika ada tamu, frater, atau orang lain yang live-in. Sebenarnya saya tidak ingin dimanja, dilayani, dihormati layaknya seorang raja, namun apa boleh buat, memang kebiasaan orang disana begitu adanya. Ketika terjadi hal seperti itu, lantas saya tidak memanfaatkan keadaan. Saya tetap bisa menjadi pribadi yang mandiri tanpa harus meminta pelayanan. Kadang saya menyapu rumah, membereskan rumah, mencuci piring,membersihkan kamar mandi yang kotor. Meskipun tidak seberapa, saya mencoba membantu mereka. Saya belajar untuk hidup mandiri tanpa minta dilayani. Meskipun seorang frater sangat dihormati, dihargai, namun saya tetap bersikap mandiri dan ingin membantu orang lain dengan segala usaha yang dapat saya lakukan.
Banyak hal yang tidak bisa saya sampaikan dalam tulisan ini. Hanya beberapa kisah yang saya anggap berharga. Mungkin masih banyak nilai-nilai berharga yang bisa diambil dari pengalaman live-in ini. Namun sepercik pengalaman ini semoga dapat memberikan pelajaran berharga bagi hidup dan panggilan saya.
Pengalaman yang sungguh menyenangkan bisa bertemu dan tinggal bersama keluarga Bpk. Nardi dan orang-orang Dagan. Saya bisa mengenal dan memahami kehidupan mereka lebih dekat. Melalui indra (mata, hidung, telinga,kulit, mulut) saya mendapat pengalaman hidup yang berkesan. Dengan mata saya melihat kehidupan di Dagan, dengan hidung saya mencium aroma Dagan, dengan teling saya mendengar banyak kisah tentang Dagan, dengan kulit saya merasakan panasnya hidup di Dagan, dengan mulut saya bisa berkomunikasi dengan orang Dagan.
Pengalaman tinggal bersama keluarga Bpk. Nardi dan bersama penduduk Dagan akan selalu terkenang dalam hidup saya. Anak-anak, remaja, muda-mudi, bapak/ibu, dan para sepuh akan selalu tersimpan di dalam bayangan. Mereka adalah orang-orang yang unik sekaligus menarik. Mereka memberi seberkas cahaya yang menerangi hidup saya. Kini kutinggalkan kisahku disana dan berharap akan menjadi kenangan yang berharga bagi hidup saya. Terimakasih banyak saya sampaikan bagimu wahai Dagan dan orang-orangnya.
Salam hangat yang membara,
Pratista, 13 Januari 2013
Yosep Pranadi, Novisiat OSC
Komentar
Posting Komentar